Dekadensi Penegakan Hukum di Sektor Pertambangan, Pulau Kabaena Jadi Korban

oleh -68 Dilihat
oleh
Risaldi, Wasekjen Konsorsium Nasional Pemantau Tambang dan Agraria

Oleh : Risaldi

Wasekjen Konsorsium Nasional Pemantau Tambang dan Agraria

Nilkaz.com, Kendari – Geliat dunia pertambangan nikel di Sulawesi kian hari kian memprihatinkan. Dimana aktifitas pertambangan semakin merusak alam dan cagar alam yang berdampak buruk bagi manusia dan alam..

Sebagai kritik pada dampak kerusakan alam dan tidak kepatuhan regulasi yang di lakukan oleh perusahaan tambang yang ada di Sulawesi  Tenggara terkhusus Kabupaten Bombana ada sebuah Pulau yang memiliki cadangan nikel yang cukup besar. Sehingga menjadi kecamata para investor untuk hadir berinvestasi di Pulau Kabaena.

Pulau Kabaena merupakan salah satu daerah yang memiliki SDA yang cukup melimpah ruah,tak hanya sektor perikanan, perkebunan, pertanian hingga sektor pertambangan nikel.

Hal ini merupakan pesan bagi pemerintah,baik itu pemerintah daerah, sampai pusat, dan juga institusi penegak hukum dari tingkat  daerah hingga ketingkat pusat untuk lebih serius melindungi Lingkungan dan menghentikan aktivitas pertambang Nikel yang sejauh ini berkontribusi pada kerusakan Lingkungan.

Hutan di Sulawesi Tenggara terus mengalami kerusakan, terlebih lagi yang berada di bombana tepat nya di Pulau Kabaena, ini menjadi  pesan serius kepada bapak Presiden Jokowi, agar segera bertindak melindungi alam Kabupaten Bombana, dengan menghentikan Ekspansi Tambang Nikel di Pulau Kabaena tersebut.

Penulis yang merupakan seorang mahasiswa asal Kabupaten Bombana khawatir bila sebagian besar wilayah Pulau Kabaena digunakan sebagai tempat pusat pertambangan.

Lahan pertanian yang menjadi sumber mata pencaharian akan hilang, hutan yang seharusnya dijaga dan dilestarikan juga akan rusak karena dibuka untuk kegiatan pertambangan. Padahal selama ini hutan menjadi tumpuan masyarakat hidup.dan juga efek dari pada aktivitas tambang yang ada dipulau tersebut juga ikut mencemari air bersih masyarakat Pulau Kabaena.

Menurut sepengatahuan penulis, kegiatan Pertambangan diwilayah pesisir dan pulau pulau kecil tidak perbolehkan Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 Perubahan atas Undang Undang nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Melarang pulau dengan luas daratan di bawah 2000 kilometer persegi atau setara 200 ribu hektar dilarang untuk melakukan aktivitas pertambangan karna dikategorikan sebagai pulau kecil.

Untuk itu pulau kabaena seharusnya tidak boleh digunakan untuk aktivitas pertambangan karna luas wilayah hanya mencakup  sebesar 891,4 km².

“Dalam UU Nomor 1 Tahun 2014, pulau-pulau dengan luas daratan kurang dari 2000 Km2 dikategorikan sebagai pulau kecil dan tidak boleh ditambang dan masih banyak peraturan yang mengatur tindak kejahatan pertambangan tentang pengelolaan sumber daya alam yang. masih terjadi dipulau kabaena tentang kerusakan hutan.

Misal Dalam Pasal 50 Ayat (3) huruf g Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (UU Kehutanan) mengatur bahwa : Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa melalui pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan (“IPPKH”) dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.

Menurut penulis penjabaran pasal 50 ayat (3) huruf g sudah sangat jelas bahwa setiap orang di larang melakukan aktifitas di dalam kawasan hutan negara tanpa terlebih dulu mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari pemerintah.

Sementara itu di tegaskan lagi sanksi pidana: Pelanggaran terhadap suatu kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan tanpa dilengkapi IPPKH akan berdampak pada ancaman sanksi pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) sebagaimana diatur di dalam Pasal 78 ayat (6) UU Kehutanan sedangkan untuk sanksi administratif sesuai dengan Pasal 119 UU Minerba, Izin Usaha Pertambangan (“IUP”) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (“IUPK”) dapat dicabut oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya karena alasan pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta peraturan perundang-undangan.

Namun aturan yang jelas itu lagi-lagi menurut penulis hanya sebuah peringatan yang tidak di barengi dengan implementasi penegakkan hukum yang efektif. Sebab masih terdapat banyaknya perusahaan pertambangan yang di duga telah melanggar ketentuan sebagaimana telah di jelaskan secara eksplisit di atas tetapi bisa lolos dari jeratan hukum dengan modal kebijakan oleh pemangku jabatan yang penulis nilai hanya menguntungkan sebagian golongan dari pemangku kebijakan itu sendiri.

Dengan adanya fakta-fakta di atas, penulis berkesimpulan dan meyakini selama masih berlaku yang namanya kebijakan di atas undang-undang terkait implementasi penegakkan supremasi hukum di bidang pertambangan di negeri ini, maka pengelolaan sumber daya alam dengan berpedoman pada ketentuan perundang-undang sebagaimana yang di harapkan oleh para pendahulu negeri ini tak akan pernah terlaksana dengan maksimal.

Dasar hukum:
Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Undang Undang Nomor 4 Tahun 2019 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Laporan: Redaksi

Follow Berita Terkini Nilkaz.com di Google News berikut ini: klik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *