Oleh : Ali Kamri, S.H
Nilkaz.Com, Kendari — Riuh di media sosial belakangan ini yang meberitakan seorang Mahasiswa IAIN Kendari yang bernama Alwi Syahid sebagai korban penikaman pada saat Kongres Sema Fakultas Syariah, pada Kamis (26/12/2024) sekitar Pukul 02.00 s/d 03.00.
Pasalnya ia mendapatkan tusukan dari seorang masiswa lain setelah ia melakukan peleraian pada saat terjadi keributan yang bermula saling dorong-mendorong hingga terjadi penikaman terhadap Alwi Syahid.
Alwi Syahid yang niatnya meleraikan kawan mahasiswa nya yang dianggap tidak perlu saling gesekan apalagi mereka berada dalam satu universitas dan satu fakultas yang sama, sialnya malah ia terkena tusukan benda tajam yang di duga itu adalah pisau milik salah satu seorang mahasiswa IAIN Kendari.
Setelah terjadi penikaman Alwi Syahid melakukan laporan kepolisian negara Republik Indonesia daerah Sulawesi Tenggara Resor Kendari pada tanggal 24 Desember 2024 pihak kepolisian tidak melakukan berita acara pemeriksaan (BAP).
Setelah melakukan lapaoran Di tanggal 24 desember 2024, pemaggilan berita acara pemeriksaan sodara Alwi untuk dilakukan pada Hari Minggu 29 Desember 2024.
Jika benar demikian. Maka pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah kepeolisian tidak mau melakukan penyelidikan terhadap keterangan laporan sodara Alwi Syahid sebagai korban akaibat penganiyaan/ataupun perencanaan penganiyaan ?
Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 1 ayat (1) Penyidik adalah pejabat kepolisian negara republik indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Pasal 1 ayat (2) Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Akibatnya terhadap laporan korban sodara Alwi Syahid yang lambat di atensi oleh pihak kepolisian resor kendari, sehingga terjadi simpang siur di sosial media terhadap kasus penikaman yang terjadi tehadap mahasiswa IAIN Kendari (Alwi Syahid).
Pertanyaan yang kedua adalah apakah mahasiswa di perbolehkan membawa senjata tajam di area kampus ?
Secara hukum terhadap seseorang yang membawa senjata tajam apalagi menggunakannya untuk melakukan kekarasan, kejahatan, seuai dengan kriteria Pasal 2 ayat (1) tanpa hak mengusai, membawa, mempunyai kesediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, atau menyimpan Senjata Penikam atau Senjata Penusuk.
Selanjutnya Pasal 3 menyebutkan bahwa Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum Undang-undang Darurat ini dipandang sebagai kejahatan.
Undang Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 Tentang Mengubah Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen”
Kriteria dan Unsur-Unsur yang terkandung dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Darurat Nomor. 12 Tahun 1951 adalah :
Pasal 2 Ayat (2) Dalam pengertian senjata pemukul, senjata penikam atau senjata penusuk dalam pasal ini, tidak termasuk barang-barang yang nyata-nyata dimaksudkan untuk dipergunakan guna pertanian, atau untuk pekerjaan-pekerjaan rumah tangga atau untuk kepentingan melakukan dengan syah pekerjaan atau yang nyata-nyata mempunyai tujuan sebagai barang pusaka atau barang kuno atau barang ajaib (merkwaardigheid).
Unsur-Unsur yang terkandung dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Darurat Nomor. 12 Tahun 1951 adalah :
1. Barang siapa;
2. Tanpa Hak Menguasai, Membawa, Mempunyai Kesedian Padanya atau Mempunyai dalam Miliknya, atau Menyimpan Sesuatu;
3. Senjata Penikam atau Senjata Penusuk.
Maka kami perpendapat bawha seluruh unsur-unsur Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Darurat No. 12 Tahun 1951 yang merupakan Pasal membawa senjata tajam telah terpenuhi, sehingga pelaku telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan pidana membawa senjata tajam tanpa izin.
Penerapan Restoratif Justice (RJ) Restoratif Justice merupakan salah satu pendekatan dalam proses penyelesaian perkara pidana sejatinya RJ berdasar dari pergeseran paradigma hukum pidana yang tidak lagi menjadikan penghukuman atapun pemenjaraan sebagai satu-satunya jalan untuk merespon terjadinnya suatu tindak pidana.
Filosofis lahir nya Restoratif Justice menjadikan hukum pidana sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) dan bukan menjadi upaya utama (premium remedium).
Di dalam praktik pendekatan Restoratif Justice dengan memberdayakan semua pihak, dan dapat dilakukan baik ditingkat penyidikan oleh kepolisian berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021, dan ditingkat Penuntutan oleh Jaksa berdasarkan peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020, dan ditingkat Persidangan oleh Hakim berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024.
Salah-satu syarat agar dapat diterapkan Restoratif Justice adalah mesti adannya Pengakuan Rasa Bersalah oleh Tersangka atau Terdakwa.
Penulis adalah Mahasiswa Magister Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari.