Oleh: La Yusrie, Budayawan Buton
Nilkaz.Com, Buton — Pernah serombongan orang Bugis dari Bone datang ke Keraton Buton, di Baruga depan masjid agung keraton Buton kami berbincang, semua mengenai Arung Palakka.
Ia menanyakan tempat persembunyian sebenarnya Arung Palakka, segera saya menunjuk arah di timur benteng pada sebuah ceruk dengan pinggirnya yang melandai terjal.
Ia menggeleng dan tertawa pelan menyengir. Berkata; “kami sudah dari sana, tidak, tidak mungkin di situ”
Melanjutkan: “Yang kami dengar dari cerita kakek nenek leluhur kami, Arung Palakka disembunyikan dalam liang rahasia yang dalam dan luas, dimana dalam liangnya itu ia dapat mendengar orang azan dan bersembahyang”
Ia lalu menunjuk satu tempat di masjid, saya terkejut, sebuah lagi rahasia terbuka diungkapnya.
Sudah sedari dulu, perhubungan Bone dengan Buton begitu dekatnya, nyaris tanpa sekat yang mengantarai.
Apalagi sesudah Gowa–Tallo menginvasi Bone meminta ketundukan yang mutlak, pertautan Bone dengan Buton serupa saja dua utas tali yang berpilin menyatu, kokoh dan begitu kuat.
Sejak itu Bone disebutlah Buton di Barat, sedang Buton adalah Bone di Timur. Sesiapa orang Bone datang di Buton maka berlakulah ia seperti di rumah negeri sendiri, begitulah juga orang Buton yang ke Bone mendapat perlakuan sama serupa begitu
Itulah yang menyebabkan Arung Palakka tak ragu mengerek layar kapalnya ke Buton mencari selamat dari kejaran Karaeng Karunrung, pangeran Gowa, putera Karaeng Pattingaloang yang sebenarnya adalah ayah angkatnya juga sendiri.
Tempat paling aman dan nyaman berlindung adalah dalam pengawalan dan pengawasan saudara, di negeri yang sudah serupa negeri sendiri
Tak peduli resiko sebesar apa, bahkan runtuh langit sekalipun, yang namanya saudara harus dibela, bukan dibelakangi dengan dipunggungi.
Sekalipun nyawa ditaruhkan, saudara harus diberi bantuan dan mendapatkan pertolongan. Begitulah dekatnya hubungan Buton–Bugis di masa itu
Itulah La Simbata–Sultan Buton ke-10 dengan gagah menghadapi utusan karaeng Gowa, bersumpah tiada Arung Palakka di atas tanah Buton, padahal sebenarnya sedang disembunyikannya Raja Bone itu dalam sebuah terowongan liang rahasia, di bawah tanah Buton.
Di atas tanah negeri Buton sedang alot perundingan utusan karaeng Gowa dengan sultan Buton.
Sedang di bawah tanah, dalam liang persembunyiannya, Arung Palakka mendengarkan dan menyimak seksama segala tuntutan Gowa terkaitnya.
Utusan Karaeng Gowa menuntut Buton segera menyerahkan Arung Palakka, raja Bugis buron buruan mereka dengan tanpa meminta syarat.
Tak ada Arung Palakka di atas tanah negeri Buton” sela Sultan Buton dalam sehelaan nafasnya dengan sepenuh penghormatan pada utusan karaeng Gowa itu.
“Dapatkah yang mulia mengatakannya dengan bersumpah di atas kitab suci?” Sela utusan karaeng Gowa yang tampak tak percaya.
Sembari mengangkat kitab suci, berkata sultan La Simbata: “Hancur binasa tanah negeri Buton, menyebar wabah dari empat penjuru, sobek mulut kami jika benar Arung Palakka ada di atas tanah negeri Buton”.
Mendengar sumpah sultan Buton itu, pulanglah utusan Karaeng Gowa, kembali ke Somba Opu membawa segunungan kedongkolan.
“Tak mungkin para mata-mata Gowa salah dalam mematai” batinnya bergolak hebat, tetapi sebagai muslim, sumpah sultan Buton dengan mengangkat kitab suci tak mungkin bisa tidak dipercayanya.
Saya selalu senang membaca Buton dari tulisan orang luar Buton. Sesudah memoar menarik Roelof Blok untuk Cornelis Sinkelar, kini menyusul catatan harian raja Bone La Temmassonge’ Toappawelling Matinroe ri Malimongen.
Ia adalah raja Bone ke-22, memerintah antara tahun 1752–1762, tahun yang sama dimana di Buton memerintah Sultan Hamim, La Seha dan La Karambau (periode keduanya).
Dalam tahun itu, sebagaimana di Buton, Bone pun sedang dalam ketegangan dengan VOC Belanda.
Ketegangan-ketegangan itu yang kemudian memantik amarah dan memicu seteru dikeduanya, membawa Bone–Belanda berdiri diametral saling melawan, tidak sebagai sekutu lagi.
Puncaknya berpuluh tahun kemudian, Belanda menyerahkan Bone kepada Inggris dan memaksa meneken kontrak Korte Verklaring pada 1824.
Sejak itu, selesailah segala-gala. Persekutuan Bugis (Bone)–Belanda yang dibangun berpuluh tahun lamanya seketika runtuh, bersalin rupa menjadi perseteruan.
Sementara Bugis (Bone) dan Buton terus bertaut, berpaut tanpa bersekat, hubungan keduannya terus dekat terjalin, tak dilekang waktu, tak dikekang zaman.
Makam Kapitan Ratuloly
DI sinilah bermakam seorang kapitan heroik legendaris itu—pada puncak bukit Tara Alen, Desa Lamahala Jaya, Adonara Flores Timur. Jasa pahlawan Lamahala ini tak dilekang waktu, tak dilapuk zaman, hingga kini terus-terus dikenang—disimpan abadi sebagai kearifan ingatan kolektif komune adat Desa Lamahala.
Ia digelari Kapitan “Jelajah Nusantara” sebab berperan menjelajah, pergi berperang dimana mana negeri, mengusir Portugis—dari Maluku, Banda, Solor Watan Lema di timur nusantara sampai di Aceh, Siak, Malaka, Johor, Lingga di barat Nusantara.
Betapa saya terharu, telah juga sampai di tanah Lamahala dengan sehormat-hormatnya penyambutan, di rumah kepala suku Atamua diperlihatkan pusaka tambur dan genderang perang berlilit kain Buton—sudah lapuk diganti kain Lamahala, juga dibentangkan Panji dari Kapitan bergelar “Kapitan Lingga” Ratuloli, itu pusaka bermotif lukis gambar naga yang mengangai anjing.
Di makam kapitan Ratuloli, saya bersimpuh tepat di tepian lahatnya, mengelus pusaranya, dan menaikan doa keselamatan untuknya.
Betapa hebat kapitan ini, dimana-mana negeri pergi dia berperang, menjelajah sejauhnya, dari ujung barat ke ujung timur nusantara, pulang dengan tak sekalipun merasai kekalahan, membawa kemenangan saja belaka.