Nilkaz.com, Konawe Kepulauan – Beredar video di media sosial PT Gema Kreasi Perdana (GKP) diduga menyerobot lahan milik warga Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep), Sulawesi Tenggara (Sultra).
Aksi penyerobotan lahan atau kebun yang dilakukan oleh pihak perusahaan viral di media sosial usai divideokan oleh pemilik lahan bernama Mukrin anak dari almarhum La Ba’a.
Dalam video berdurasi 8 menit yang diterima Nilkaz, terlihat putra almarhum, Mukrin dan sejumlah warga memprotes tindakan PT GKP yang terus menggusur kebun yang telah ditanami cengkeh dan jambu mete tersebut.
Terlihat juga pihak PT GKP telah melakukan sosialisasi dan telah memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) sehingga berhak atas hutan tersebut.
Menyikapi beredarnya video tersebut,
Prof Denny Indrayana selaku kuasa hukum masyarakat mengatakan pihaknya menyesalkan tindakan PT GKP sebagaimana terlihat dalam video yang beredar itu.
“Kami menyesalkan tindakan PT GKP yang terus memaksakan kehendaknya menggusur kebun masyarakat, khususnya kebun La Ba’a sebagaimana terlihat dalam video yang beredar” kata Denny, Senin 20 Februari 2023.
Denny menyebut, tindakan tersebut jelas merupakan bentuk pembangkangan terhadap lembaga peradilan di Indonesia dan melanggar hukum.
“Tindakan itu merupakan sikap tidak menghargai putusan Mahkamah Agung dan PTUN Kendari yang mengabulkan gugatan warga, membatalkan ketentuan ruang tambang di Konkep, serta membatalkan IUP Operasi Produksi PT GKP,” tegas Eks Wakil Menteri Hukum dan HAM RI itu.
Terpisah, Harimuddin salah satu kuasa hukum masyarakat juga mengungkapkan kegiatan GKP harus dihentikan karena IPPKH yang dijadikan dasar melakukan aktifitas penambangan sudah tidak berlaku lagi.
“Seharusnya kegiatan PT GKP harus dihentikan karena IPPKH yang dijadikan dasar untuk melakukan penambangan di kawasan hutan sudah ekspired atau tidak berlaku lagi,” ungkap Harimuddin
Menurutnya, IPPKH PT GKP Nomor SK. 576/Menhut-II/2014 seluas 707,10 hektar diterbitkan oleh Menteri Kehutanan RI tanggal 18 Juni 2014. Pada Diktum 13 SK IPPKH tersebut dijelaskan bahwa keputusan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dengan jangka waktu paling lama sampai dengan tanggal 14 November 2028, apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak ditetapkannya keputusan tidak ada kegiatan nyata di lapangan, maka keputusan ini batal dengan sendirinya.
“Dokumen yang kami dapatkan dalam persidangan di PTUN beberapa waktu lalu dan berdasarkan keterangan warga Wawonii Tenggara bahwa PT GKP mulai beraktifitas di lapangan tahun 2019 lalu, sehingga SK IPPKH itu sudah kadarluasa atau tidak bisa lagi dijadikan dasar melakukan aktifitas pertambangan,” terangnya.
“Kalau dicermati, jika SK IPPKH PT GKP diterbitkan tanggal 18 Juni 2014, dua tahun dilapangan tidak melakukan kegiatan nyata sampai 18 Juni 2016 maka berdasarkan diktum ke 13 batal demi hukum,” sambung mantan Staf Khusus Satgas 115 Kementerian Kelautan dan Perikanan ini.
Ia menambahkan, pihaknya sudah mengajukan laporan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 22 Februari 2023 di Kantor KLHK Manggala Wanabhakti Jakarta.
“Kami sudah ajukan laporan, sebab melakukan kegiatan penambangan tanpa IPPKH di kawasan hutan merupakan tindakan merusak hutan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” pungkasnya.
Sementara itu, Sahidin salah satu Penggugat Prinsipal mengatakan, pemerintah terkait harus menghentikan upaya paksa PT GKP menggusur lahan warga yang sebelumnya tidak menjual lahannya kepada perusahaan tambang.
“Masyarakat meminta kepada Kementerian ESDM, Gubernur Sultra, dan Bupati Konkep untuk segera menghentikan tindakan PT GKP yang memaksakan diri menggusur lahan warga yang tidak mau menjual kebun atau lahannya,” tegas Sahidin
Ia menuturkan, video tersebar itu merupakan bentuk tindakan penyerobotan lahan kesekian kalinya oleh PT GKP, sebab IPPKH yang tidak berlaku lagi dan warga tidak melepas status kepemilikan lahannya.
“Itu nyata penyerobotan, warga tidak melepas status kepemilikannya, perusahaan ini sudah tidak berlaku IPPKHnya, maka ini bentuk kegiatan merusak kawasan hutan,” tutur mantan anggota DPRD Konkep periode 2014-2019.
Laporan: Jabar
Editor : Once