Nilkaz.Com, Kendari – Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kendari gelar diskusi menyangkut wacana tentang keperempuanan sekaligus menggelar lapak baca, Selasa (10/10/2023).
Diskusi dan lapak baca yang di selenggarakan oleh DPC GMNI Kendari dilaksanakan di pelataran tugu Universitas Halu Oleo (UHO) yang di ikuti oleh anggota dan kader lintas komisariat GMNI Kota Kendari dengan sangat antusias.
Pemantik dalam diskusi tersebut Sarinah Rinda dan Sarinah Mely membeberkan tema-tema tentang perempuan tak akan pernah habis untuk di perbincangkan dan di diskusikan baik yang menyangkut urusan domestik maupun dalam ruang publik. Sederhananya dalam diskusi yang terbangun kita punya banyak kesepakatan dalam melihat berbagai varian yang hadir tentang bagaimana fase gerakan perempuan dan penindasan perempuan itu sendiri.
Ia mengklasifikasikan berbagai fase gerakan perempuan, jika melucuti gerak sejarah perempuan ada berbagai tahap ketika bicara peradaban manusia.
Komunal Primitif (Nomaden)
Relasi antara laki-laki dan perempuan yang di bangun pada masa kehidupan komunal primitif antara laki-laki dan perempuan hampir ada keseimbangan. Peran yang dimainkan oleh laki berburu dan meramu adalah satu satu bentuk upaya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Upaya perempuan selain menghasilkan reproduksi dan menjaga anak mereka juga mampu mengimbangi bagaimana peran yang dilakukan oleh laki-laki dalam mencari kehidupan. Meskipun dimasa itu belum diikat oleh norma sosial dan belum adanya struktur sosial tetapi relasi antara laki-laki dan perempuan terbilang baik, tak ada dominasi satu sama lain.
Patriarkhisme adalah sebuah ideologi yang memberikan kepada laki-laki legitimasi superioritas, menguasai dan mendefinisikan struktur sosial, ekonomi, kebudayaan, dan politik dengan perspektif laki-laki. Dunia dibangun dengan cara berpikir dan dalam dunia laki-laki. Ideologi ini sesungguhnya telah muncul sejak abad yang amat dini dalam peradaban manusia, terus dihidupkan dalam kurun waktu yang sangat panjang dan merasuki segala ruang hidup dan kehidupan manusia. sementara perempuan dalam situasi itu dipandang sebagai eksistensi yang rendah, manusia kelas dua (the second class), yang diatur, dikendalikan bahkan dalam banyak kasus seakan-akan sah pula untuk dieksploitasi dan diskriminalisasi hanya karena mereka mempunyai tubuh perempuan.
Feodalisme
Dalam kehidupan ini perempuan sangat dikekang kebebasannya dalam menuntut dan mendapatkan haknya baik dalam ruang domestik maupun di ranah public.
Perempuan tak begitu banyak kesempatan dalam berpendidikan menggeluti ilmu yang di tekuninya, berpolitik dan berperan dalam ruang publik. Kuatnya dominasi patriarki yang mengakar tajam dalam struktur sosial politik masyarakat sehingga meminggirkan kaum perempuan itu dari panggung sejarah peradaban. Olehnya itu banyak tokoh-tokoh perempuan yang menentang anggapan bahwa peran perempuan tak seharusnya di posisikan sebagai bentuk objek dan sasaran penindasan, kebiadaban tetapi bagi mampu juga bersaing seperti manusia (laki-laki) pada umumnya, sehingga perempuan mulai ada kesadaran dan kemampuan untuk membangun kelompok diskusi dan solidaritas perempuan untuk mampu meningkatkan kualitas diri secara kuantitatif.
Kapitalisme
Kapitalisme adalah tahapan tertinggi dari imperialisme, dalam perkembangannya cara kerja kapitalisme mampu membombarlemen segala ruang kehidupan termasuk perempuan sendiri. Dalam proses penindasan mampu masuk dalam ruang-ruang terkecil, melakukan eksploitasi terhadap perempuan dengan standar-standar yang di tentukan dalam memasuki suatu pekerjaan. Seakan dalam perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi dengan peradaban baru dunia ke tiga perempuan terkomersialisasi dalam ruang publik, pemodal mampu menguasai tubuh perempuan sebagai objek dan sasaran untuk menjadi penarik agar produksi yang di pasarkan oleh kelompok pemodal mampu terjual dan laris manis.
Perjuangan kaum perempuan dalam kungkungan sistem patriarki bukan hanya upaya perempuan untuk keluar dari penindasan tetapi bagian dari menyelamatkan suatu bangsa agar tidak tergerus oleh buasanya modernisasi yang melanda sendi-sendi kehidupan. Sehingga bicara peradaban kita sendiri tak bisa menafikan diri bahwa tak ada peran yang mendasar perempuan karena kontruksi yang di bangun kultural sosial masyarakat yang coba meminggirkan kaum perempuan dalam ruang-ruang produktif.
Penindasan terhadap perempuan itu sangat spesifik hadir dari berbagai varian yang berbeda karena perempuan banyak yang mengalaminya dalam beberapa hari terakhir ini. sudah sejak lama tubuh perempuan seakan menjadi ladang dan sasaran objek kebiadaban hingga menjadi objek alat pemuas nafsu dan seksualitas. perempuan didorong melakukan berbagai cara untuk membentuk tubuh ideal sesuai konsepsi kecantikan yang dikonstruksi kapitalisme bahkan sesuai dengan standar yang di tetapkan laki-laki sekalipun.
Meski sudah di lakukan berbagai upaya untuk mengikis pikiran seksime tetapi pola penindasan dan kekerasan seksual hadir dalam berbagai varian yang berbeda. sosialisasi dan edukasi kepada sesama tidaknya cukup, perlu ada upaya kongkret yang di lakukan laki-laki maupun perempuan dalam ruang lingkup akademik.
Minimal tidak perempuan bisa melawan hegemoni yang merendahkan kaum perempuan bahwa selama ini rasanya pikiran demikian sudah melembaga dalam tatanan sosial masyarakat, politik, budaya dan hukum itu sendiri. seakan mereka terkungkung dan terpenjara dalam pikiran masyarakat (tak bebas), selanjutnya perlu banyak melakukan kajian-kajian kritis untuk mengikis tafsiran bahwa perempuan selalu menjadi budak dan sarang penindasan. konstruksi pemikiran masyarakat yang sudah sangat mengakar memberikan label negatif terhadap perempuan dan membongkar mitos-mitos yang selama ini meminggirkan kaum perempuan.
Dalam dunia pendidikan rupanya sangat kental budaya patriarkinya. wadah dan rumah yang seharusnya di bentuk pola pikir, karakter dan jati dirinya generasi bangsa seakan berubah sekejap menjadi buas yang tak lagi menghargai harkat dan martabat manusia khususnya perempuan.
Padahal di bulan-bulan sebelumnya gencar-gercarnya sekelompok aktivis perempuan kendari mengkampanyekan soal kekerasan seksual dengan memberikan edukasi satu sama lain, bersuara di jalan, membagikan poster dan selembaran sebagai upaya meningkatkan pemahaman akan bahaya predator yang memangsa perempuan itu sendiri.
Namun tak sedikit juga ketika perempuan penyintas bersuara tentang kondisi objektifnya, maka kemungkinan respon balik publik patriarkis adalah fitnahan, ujaran ‘tidak tahu diri’. narasi stereotipe tak sedikit juga hadir dari berbagai kecaman publik, hal tersebutlah yang kemudian perlu di kikis sedikit demi sedikit oleh perempuan maupun laki-laki untuk menepis label pelabelan negatif untuk korban kekerasan seksual tersebut.
Mesti ada pendampingan agar tidak terjadi rasa trauma yang mendalam, tekanan psikologis dan psikis yang berkepanjangan. Patriarki mengajarkan bahwa perempuan adalah makhluk yang senantiasa layak dialienasi, subordinasi, diskriminasi dan patut ditindas. Betapa memilukan menjadi perempuan dalam atmosfir patriarki. (Red).