Perdagangan Kekuasaan Jadi Musibah, Pemimpin Mesti Bersikap Adil

oleh -344 Dilihat
oleh

Oleh: Kariadi

Nilkaz.Com, Kendari — Mencuatnya beberapa kasus di tanah air, akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat di kalangan kaum intelektual kritis.

Kasus yang berangsur-angsur terjadi menunjukkan bahwa terjadi darurat moral di negri ini.

Deretan Kasus korupsi, suap, dan pelanggaran etik, kerap kali pejabat pemerintah ikut terlibat di dalam kasus tersebut.

Dalam lingkup negara Indonesia, memang kasus-kasus seperti ini masih menjamur bahkan menjadi pekerjaan besar bagi setiap periode kepemimpinan presiden dengan memberantas KKN.

Belum lagi dalam konteks yang lebih luas dan fakta di erah Pemerintahan Jokowi beberapa Menteri dan kepala daerah tersandung korupsi yang muncul dalam pemberitaan Jurnalis di media konvensional.

Masyarakat luas pun ketika mendengar segala hal yang berkaitan dengan instansi pemerintah selalu memberi penilaian negatif.

Bahkan, telah menjadi rahasia umum bahwa pejabat selalu identik dengan kegiatan suap-menyuap dalam pelayanan publik.

Bukan tanpa alasan, sentimen tersebut muncul atas dasar kejadian di lapangan yang kerap dialami.

Misalnya soal mengurus administrasi untuk bisa memasuki dalam suatu sektor perusahaan tambang dan pendidikan lewat ruang-ruang gelap yang disediakan segelintir oknum pemberi pelayanan publik dengan pungli.

Kenapa kemudian mereka ingin membayar suap? Alasan nomor satu sebagai tanda terimakasih.

Perilaku koruptif dalam mengakses pelayanan publik seakan sudah menjadi sesuatu yang lumrah dilakukan sebagian besar masyarakat.

Parlemen yang mestinya melahirkan Undang-undang yang berpihak pada masyarakat luas, bukan justru malah menjadi tangan kanan para oligarki dalam merancang undang-undang hanya untuk kepentingan bisnisnya. Sehingga, jabatan yang mestinya mandat rakyat justru disalahgunakan untuk kepentingan pribadinya.

Melihat fenomena seperti ini memang sangat miris, kaum intelektual yang sering berdebat persoalan normatif pada akhirnya juga ikut terlibat dalam skandal tersebut.

Sebagai upaya untuk menuntaskan persoalan korupsi dan menciptakan kepemimpinan yang bersih dan transparan selalu menjadi perbincangan menarik.

Tak hanya negara, Islam juga memandang korupsi sebagai permasalahan serius. Lantaran bersifat merugikan, menindas, dzalim serta tak sesuai dengan apa yang syariat agama ajarkan.

Ditegaskan dalam Surat Al-Baqarah ayat 188:

“Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui,”

Saya mencoba juga menawarkan solusi perspektif baru atas problem-problem yang terjadi dengan sedikit merefleksikan kepemimpinan Umar bin Khatab di era khalifah Islam zaman dahulu.

Seperti yang kita diketahui, Umar bin Khatab ialah khalifah kedua yang menggantikan Abu Bakar Ash-Shidiq, dengan masa kepemimpinannya pada tahun 634-644 Masehi.

Khalifah yang mendapat julukan Amirul Mukminin dalam artian komandannya orang-orang beriman tersebut terkenal sebagai orang yang tegas dan bijaksana dalam membuat sebuah kebijakan.

Dalam salah satu peristiwa sebelum mengangkat gubernur di suatu wilayah, Umar meminta agar para pejabat yang akan diangkat terlebih dahulu dicatat dahulu harta kekayaan pada awal dilantik dan nanti di masa akhir jabatannya.

Hal tersebut dimaksudkan agar disuatu kemudian apabila terjadi kenaikan harta yang tidak wajar, maka kelebihan hartanya akan ditaksirkan dan diberikan sesuai apa yang menjadi haknya, dan lebihnya akan dimasukkan dalam baitul mal.

Kebijakan seperti itu tentu memunculkan pertanyaan, yaitu ada salah seorang yang menanyakan kepada sang-khalifah, apakah dirinya mencurigainya.

Kemudian dijawablah oleh Amirul Mukminin bahwa kebijakan yang dibuatnya hanyalah untuk menghilangkan kerisauannya.

Umar mengatakan bahwa kebijakannya untuk mengawasi kekayaan para pejabatnya, karena diperhatikannya banyak yang setelah menjabat kekayaan meningkat drastis.

Tak banyak dari para pejabat tersebut, mereka berbisnis ketika menjabat. Kemudian, ada salah seorang yang menanyakan bukannya berbisnis itu diperbolehkan.

Sang khalifah itu menjawab “Memang bisnis diperbolehkan, tetapi tidak untuk menugaskan para pejabatnya untuk berbisnis, tetapi pejabat-pejabat itu ditugaskan untuk adil di kalangan masyarakat.”

Umar khawatir ketika pejabatnya berbisnis masyarakat akan memberikan uang karena jabatannya. Sehingga lebih memperhatikan bisnisnya daripada tugas utamanya sebagai pemimpin.

Dengan demikian, kekayaannya akan meningkat, karena jabatan yang diembannya. Di era masa kini, berbisnis dengan kekuasaan dapat dikontekstualkan dengan fenomena-fenomena para pejabat yang menyalahgunakan jabatannya untuk berbisnis.

Betapa banyak ditemukan di masyarakat Indonesia, ketika mendaftar menjadi pegawai negeri mesti harus membayar sejumlah uang yang cukup banyak kepada beberapa oknum yang memiliki posisi penting dalam pemerintahan tersebut sebagai maharnya.

Dalam kasus lain, betapa banyak penegak hukum yang mestinya adil dalam menjalankan tugas, justru menyalahgunakan jabatan untuk berbisnis dengan cara melindungi para penjahat yang merugikan alam dan masyarakat luas.

Seperti perlindungan terhadap tambang illegal, narkorba, dan kasus kriminal lainnya, atau seperti yang telah disebutkan di atas, mereka yang memiliki kecakapan intelektual dan kedudukan penting dalam parlemen malah berbisnis membuat undang-undang untuk kepentingan perorangan saja.

Sebagai kesimpulan sekaligus penutup, dari kisah kepemimpinan khalifah Umar bin Khatab dapat diambil sebuah pelajaran penting bahwa memiliki jabatan ialah persoalan penting yang mesti diperhatikan betul agar membawa manfaat bagi masyarakat luas.

Sejatinya, setiap pemimpin mesti bersikap adil kepada siapapun tanpa ada kepentingan apapun. Jabatan bukanlah sebuah berkah namun sebuah musibah. Sebab pertanggungjawabannya tidaklah cukup di dunia, tetapi juga diakhirat.

Kontekstualisasi tersebut mungkin memunculkan perdebatan dengan dalih bahwa manusia yang hidup saat ini tidak bisa disamakan dengan para sahabat yang pernah hidup bersama Nabi dan juga situasi kondisi sekitar yang turut menjadi faktornya.

Namun, yang harus menjadi catatan penting bahwa kritik terhadap kekuasaan ini mesti bersifat normatif, dengan standarisasi ataupun tolak ukurnya pada kehidupan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.

Karena diketahui bersama, bahwa Nabi ialah orang yang maksum atau terjaga dari kesalahan, serta para orang terdekatnya ialah orang yang dijamin masuk surga oleh Allah SWT.

Kalaupun alasan diatas tidak cukup rasional karena terlalu dogmatis, maka alasan mengapa kepemimpinan para khalifah dapat menjadi cara pandang baru, mesti dilacak berdasarkaan literatur-literatur ilmiah.

Kita meyakini bahwa suasana kehidupan semasa ke-khalifahannya masih dapat ditelusuri dan dipelajari. Sehingga, terkait nilai-nilai kebajikan yang ada dapat dijadikan pelajaran serta dalam ruang lingkup kepemimpinan masa kini mesti diejawentahkan secara praksis ataupun sebagai kritik terhadap kekuasaan apabila terjadi penyimpangan.

Penulis: Kariadi Alumni Mahasiswa Jurnalistik UHO.

Follow Berita Terkini Nilkaz.com di Google News berikut ini: klik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *