Kepemimpinan Dalam di Mensi Moral dan Agama

oleh -433 Dilihat
oleh
Risdawati. Foto: Istimewa

Oleh : Risdawati, Kader IMM Amien Rais IAIN Kendari.

Nilkaz.Com, Kendari — Nasib suatu organisasi berada di tangan para pemimpinnya dan hal ini berlaku bagi pemimpin dan organisasi sebesar apapun itu, dari yang teraksasa seperti PBB sampai yang jauh lebih kecil dari itu.

Kepemimpinan merupakan topik yang menarik dan tidak pernah mati sepanjang masa, sejak Firaun dari Mesir dan Julius Cesar dari Romawi hingga para pemimpin politik dan eksekutif puncak dewasa ini.

Para peneliti dan pakar memberitahu kepada kita, bahwa pemimpin memang banyak jumlahnya tetapi di antara mereka itu yang memiliki “kepemimpinan” yang efektif jauh lebih sedikit. Kekurangan kepemimpinan adalah masalah terbesar yang kita hadapi dalam membuat negara ini tetap kompetitif.

Pemimpin, dengan dasar-dasar teori apapun yang dia miliki, apakah atas dasar teori sifat yang diperoleh secara genetik, atau atas dasar teori perilaku yang dia dapatkan melalui pelatihan atau proses interaksi sosial, atau atas dasar teori “situasional” yang dia peroleh karena adanya peluang dan adanya ketepatan dalam memilih gaya kepemimpinan, dia akan selalu mempunyai peluang untuk menggunakan tiga hal strategis yang dapat mengubah situasi dan kondisi pengikutnya (rakyatnya). Tiga hal tersebut adalah, Pengaruh, keputusan, dan kekuasaan.

Tragedi yang dialami bangsa Indonesia akhir-akhir ini, baik dalam masalah politik, moral, hukum (penangkapan, penculikan, korupsi, nepotisme, mafia peradilan, pemerkosaan massal, penggusuran tanah rakyat, penyalahgunaan jabatan dan kekayaan negara, dan masih banyak lagi) merupakan panorama atraktif dari pengaruh penyalahgunaan keputusan dan kekuasaan yang dipegang oleh sebagian (yang cukup banyak jumlahnya) pemimpin-pemimpin bangsa ini.

Kepemimpinan pada dasarnya adalah kemampuan untuk mempengaruhi dan membujuk orang lain untuk melakukan hal-hal yang diperlukan dalam rangka mencapai sasaran yang diinginkan.

Para pemimpin-pemimpin besar dunia, dari deretan Nabi seperti Ibrahim, Musa, Dawud, Isa, dan Nabi Muhammad s.a.w. adalah mereka-mereka yang memiliki kewibawaan yang luar biasa, mendapatkan kepercayaan yang tidak terbatas, dan dicintai para pengikutnya sepanjang masa.

Demikian juga dengan Alexander Zulkarnain, Cleopatra, Umar bin Khattab, Salahuddin Al-Ayyubi, dan lain-lainnya dipandang sebagai pemimpin-pemimpin yang mempunyai reputasi dunia dengan pengaruh yang mengagumkan di samping kecintaan dan kekaguman para pengikutnya.

Sebaliknya, cukup banyak pemimpin yang mengantongi SK (Surat Ketetapan) sebagai dasar legitimasi kepemimpinannya, kemudian didukung dengan pelantikan serba mewah, pakaian kebesaran dan segala atribut kepangkatan, ditambah lagi dengan dukungan semu dari sejumlah orang yang mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi. Tetapi justru mereka tidak mendapat simpati, kepercayaan atau kecintaan dari rakyat, mereka sulit untuk menjadi pemimpin yang berhasil.

Karena pemimpin-pemimpin model ini kerap kali dalam upaya menegakkan kewibawaannya menggunakan “kekuasaan dan kekuatan” yang berlebihan. Hal seperti ini dialami oleh pemimpin-pemimpin hasil rekayasa politik.

Dalam ajaran moral Islam, sekuat dan sebesar apapun kekuatan yang dimiliki seseorang pemimpin, dia harus menyadari adanya keterbatasan dan kekurangannya. Dan untuk itu dia harus berbuat “Arif”(Bijaksana/hikmah) dan mampu “mengontrol diri” (‘iffah), menjauhkan diri dari sikap sombong (kibr), serta “mengagumi diri sendiri” (‘ujub).

 

Salah satu hadits Nabi Muhammad s.a.w. yang berkenaan dengan itu adalah:

 

:ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال

انما الشديد الذي يملك نفسه عند الغضب…..

Yang artinya “Sesungguhnya orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya”.

Di Era kehidupan modern dan arus globalisasi sekarang dan masa yang akan datang, dalam hal ini sekurang-kurangnya menjadi jelas, bahwa pemimpin masa depan harus memiliki integritas moral, kejujuran, kesetiaan pada prinsip, percaya diri, harga diri, keteguhan, tingkat semangat yang tinggi, serta elastisitas yang memungkinkan pemimpin tetap mampu memelihara ketenangan batin di tengah-tengah tekanan dan suasana yang berpusat pada urgensi tinggi dan perubahan yang melaju cepat.

Tantangan masa depan menuntut para pemimpin hari ini untuk mampu mengidentifikasi, mempromosikan, serta memperkuat dan hidup sebagai model dari nilai-nilai inti seorang pemimpin.

Tragedi nasional yang sedang dialami bangsa Indonesia sejak bulan terakhir ini, berupa krisis moneter, krisis politik, krisis hukum dan moral, menyeruaknya tindak pidana korupsi, kolusi, nepotisme dan lain sebagainya yang setiap hari tambah terungkap biang keladinya dan dalang intelektualnya, dapat menambah keyakinan kepada kita semua bahwa kepemimpinan yang disalahgunakan karena lemahnya kontrol diri, dan keserakahan yang tidak terkendali, dapat menimbulkan malapetaka, bukan hanya bagi para pemimpin itu sendiri melainkan akan lebih dirasakan oleh bawahan dan masyarakat luas, tidak lain dan tidak bukan kita sendiri di dalamnya.

Rasulullah Muhammad s.a.w. Bersabda:

“Sebaik-baiknya pemimpinmu, ialah mereka yang engkau cintai dan mencintaimu, mereka yang selalu engkau doakan, dan yang mendoakan kepadamu. Dan sejelek-jeleknya pemimpinmu adalah mereka yang kau benci, dan membencimu, mereka yang kau kutuk, dan mereka mengutuk kamu”

Penulis: Mahasiswa IAIN Kendari, Risdawati. 

Editor: Kariadi.MR

 

Follow Berita Terkini Nilkaz.com di Google News berikut ini: klik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *