Nilkaz.com, Kendari — Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kendari melakukan aksi konsolidasi guna merespon UU Omnibus Law atau Cipta Kerja, pada Kamis (10/8/2023).
Aksi tersebut sebelumnya dilakukan didalam kampus untuk mendorong mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO) terlibat untuk merespon kebijakan Pemerintah RI dan DPR RI tentang pengesahan UU tersebut.
Tak hanya itu, aksi tersebut guna mendongkrak keikutsertaan mahasiswa, pemuda dan masyarakat terkait dengan dampak jangka panjang dari UU Omnibus Law.
Omnibus Law adalah sebuah konsep yang menggabungkan secara resmi (amandemen) beberapa peraturan perundang-undangan menjadi satu bentuk undang-undang baru. Ini dilakukan untuk mengatasi tumpang tindih regulasi dan memangkas masalah dalam birokrasi, yang dinilai menghambat pelaksanaan dari kebijakan yang diperlukan.
Dalam perjalanannya meskipun UU Ciptaker banyak menuai protes, tetapi hal tersebut seperti angin lewat tak kunjung ditanggapi secara serius hingga akhirnya peraturan tetap diundangkan dan ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 2 November 2020.
Banyak kalangan pekerja, buruh, mahasiswa daan sipil yang menolak UU Cipta Kerja karena mereka menganggap bahwa undang-undang ini dapat mengorbankan hak-hak mereka demi kepentingan pengusaha, investor dan pemerintah.
Undang-undang Ciptaker juga sangat mengancam dan merampas hak-hak pekerja serta mengandung sejumlah pasal yang berpotensi membahayakan lingkungan dan masyarakat adat, salah satunya pasal 25 yang memangkas partisipasi masyarakat dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dengan hanya melibatkan masyarakat yang terdampak langsung.
Dalam orasinya Ketua DPC GMNI Kendari, Rasmin Jaya mengatakan Undang-Undang ini terkesan mengabaikan dampak jangka panjang bagi lingkungan dan mereduksi asas proporsionalitas penyusunan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) serta mengorbankan hak- hak buruh di sektor industri. Harusnya DPR RI bertindak sebagai penentu yang dapat diandalkan untuk mempertahankan legitimasi putusan Mahkamah Konstitusi sehingga kekuasaan yudisial tidak ditabrak begitu saja namun nyatanya berbanding terbalik dengan sikap mereka.
Ia juga membeberkan, bukannya mendukung rakyat DPR RI justru menghianati rakyat dan MK, hal tersebut terlihat dalam rapat paripurna ke-19 masa sidang IV tahun sidang 2022-2023 yang dipimpin oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani.
Dalam rapat yang diselenggarakan di Senayan pada Selasa, 21 Maret 2023 tersebut, DPR RI resmi mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang. Dalam perancangan UU tidak sesuai dengan kemanusiaan dan konstitusi yang berlaku.
“Kami menilai UU Cipta kerja ini ada persengkongkolan DPR RI dan pemerintah , Seharusnya legislatif bisa menjadi corong untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat. Kami menuding justru mereka menjadi bagian dari yang mendukung pengesahan UU Cipta Kerja tersebut,” bebernya.
Apa lagi dalam pembahasannya tidak melibatkan komponen masyarakat kalangan bawah buruh dan tani untuk memberikan masukan dalam proses perancangannya.
Kabid Agitasi dan Propaganda DPC GMNI Kendari, Risal dalam orasinya adapun Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan menjadi Undang-undang Cipta kerja Nomor 6 tahun 2023. Ini juga bersesuaian dengan UU Omnibus Law Kesehatan yang baru saja disahkan dengan tidak mencantumkan anggaran wajib untuk kesehatan masyarakat yang sebelumnya dianggarkan dalam APBN/APBD.
Dengan begitu maka pelayanan kesehatan untuk masyarakat bisa anjlok, Seperti diketahui, DPR telah menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi undang-undang (UU) dalam Rapat Paripurna DPR RI di Jakarta, pada 21 Maret 2023.
“UU Ciptaker cenderung mengakomodir kepentingan perusahaan daripada masyarakat. Subtansi pasal-pasal problematika pada UU Ciptaker memudahkan perusahaan untuk melakukan kegiatan eksplorasi Sumber Daya Alam (SDA) serta merepresi hak-hak pekerja, apalagi proses pembentukan UU Ciptaker jauh dari kata transparan dan partisipatif,” ujarnya.
Sementara Kabid Kaderisasi DPC GMNI Kendari, Bung Asridam beberapa kelompok masyarakat yang terdampak langsung oleh UU Ciptaker seperti buruh dan tani yang cenderung diabaikan dan tidak terlalu didengarkan dalam proses pembentukan UU ini, sehingga sangat dinilai janggal dalam proses pembentukannya. Meskipun UU Ciptaker banyak menuai protes, tetapi hal tersebut seperti angin lewat tak kunjung ditanggapi secara serius hingga akhirnya peraturan tetap diundangkan dan ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 2 November 2020.
“Sebagai elemen masyarakat sipil dan mahasiswa tidak akan tinggal diam, untuk terus mendesak Pemerintah RI untuk segera mencabut UU tersebut,” katanya
Tak hanya itu, sebelumnya, permohonan judical review pernah dilayangkan Hasilnya, sesuai putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang berisi sembilan butir putusan yang dibacakan pada 25 Oktober 2021, menyatakan bahwa UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat karena catat formil dan prosedur di dalamnya.
Dalam beberapa subtansi pasal pada UU No 6 Tahun 2023 menimbulkan banyak tafsiran dari berbagai elemen masyarakat misalnya pasal 64 yang ditolak oleh mahasiswa adalah ketentuan mengenai tenaga alih daya atau biasa dikenal dengan outsourcing. Hal ini mengkhawatirkan untuk kalangan kelas pekerja yang akan menjadi buruh kontrak selamanya. Pasalnya, definisi tenaga alih daya batasannya baru akan ditetapkan melalui peraturan pemerintah.
Tak hanya itu, pasal 79 UU Perppu Cipta Kerja yang menyebutkan cuti dan waktu istirahat yang wajib diberikan pengusaha hanya cuti tahunan, istirahat antar-jam kerja, dan libur mingguan. Sementara itu, istirahat panjang menjadi pilihan perusahaan alias tidak lagi wajib.
Aksi yang di lakukan oleh anggota dan kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kendari berjalan lancar dan respon masyarakat cukup bersimpati karena kader GMNI tidak hanya melakukan orasi tetapi juga melakukan pembagian selembaran dengan pernyataan sikap dan tuntutan yang dibuat.
Reporter: Redi M.R